Hari demi hari memang terasa berat untuk dilalui, tapi akan lebih berat jika kita terus berdiam diri saja memikul beban itu tanpa adanya usaha perubahan dan kerjasama yang solid. Sahabat saya bilang, bahwa hari ini dia tak sempat menikmati pagi dengan merekonstruksi mimpi (bengong) sambil menikmati segelas kopi. Ada sesuatu yang di burunya. Dan memang, hari-hari kadang menuntutnya untuk bergerak lebih cepat bagai kilat. (EA)
Saya pikir, lari secepat roda dua (motor) memang tidak bisa menjamin Anda untuk sampai tujuan. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang memaksa diri mereka untuk bisa memiliki si roda empat (mobil) untuk mengantarkan sekaligus melindungi mereka sampai tujuan lebih cepat. Apalagi di musim penghujan seperti ini, banyak kilat lagi.
Dulunya, saya bangga bisa dilahirkan di sebuah kampung yang patut dibanggakan ini. Dulu lho ya! Terus sekarang? Ah, entahlah... disini mulai banyak ketidaknyamanan yang saya rasakan sekarang. Padahal disini kami lahir, disini kami besar, dan tapi mengapa harus disini pula kami merasa bodoh? Betapa tidak, semua yang dulunya hanya sebuah mimpi buruk, kini menjadi kenyataan yang tidak bisa kami cegah lagi.
Gereja dan hotel berbintang sebentar lagi akan menampakkan wujud di kampung kami. Sebodoh itukah kami? Karena bodohnya kami, gereja dan hotel pun akan berdiri tegak di depan mata kami. Dan mungkin itu akan mengganggu pemandangan sahabat saya tadi saat menikmati segelas kopinya di waktu pagi. Meski sebenarnya dia sudah terbiasa dengan memandangi sebuah tower pemancar yang lebih awal dibangun dan jaraknya hanya beberapa meter dari rumah sahabat saya itu tadi.
Sahabat saya mengibaratkannya seperti sebuah permainan catur, bukan sinergi yang dibangun, tapi malah kekacauan yang diciptakan. Lama-lama, mungkin satu demi satu pion-pion pasti akan hengkang dari arena karena tidak tahan dengan kesewenangan pimpinan pasukan.
Harapan saya, semoga tulisan ini bisa mewakili segenap pemuda dan pemudi di kampung ini untuk bangun dan bangkit. Saya bosan dengan seorang supir yang itu-itu saja, karena sesekali kami pun ingin merasakan bagaimana rasanya bisa menyetir agar supir yang dulu itu pun merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi seorang penumpang yang harus selalu ikuti kesewenangan si supir. Kalau-kalau arahnya benar, kalau menjerumuskan?
Oleh sebab itu, untuk hal ini saya sangat percaya dengan kekuatan para pemuda yang ada disini. Karena pemuda-lah ujung tombak dari segala arah. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, “Berikan aku 1000 orangtua, niscaya akan aku cabut Semeru dari akarnya. Dan berikan aku 1 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia.” Dan semoga kutipan itu mampu dan bisa membuat kepemudaan disini bangun dan bangkit demi perubahan.
Pelayanan dan Informasi Umum Seputar Kelurahan Panunggangan Barat Kecamatan Cibodas Kota Tangerang
AGA THE SERIES
“Menapak keberhasilan sama seperti mengetik kata demi kata dan menjadikannya suatu karangan yang bermanfaat.”
Rabu, 30 November 2011
Sabtu, 05 November 2011
Rabu, 26 Oktober 2011
TAQLID
KATA PENGANTAR
Maha Suci Allah SWT, Dzat Yang Maha Esa dan seluruh kehidupan berada pada genggamanNya. Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kenikmatan, rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam tercurah kepada Khattaman Nabbiyyin Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatNya.
Makalah yang berjudul “Periode Taqlid Dan Kemunduran Islam” ini disusun sebagai salah satu persyaratan perkuliahan pada jurusan PGSD di Universitas Muhammadiyah Tangerang.
Dalam pembuatan makalah ini, banyak kesulitan yang saya alami terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Namun berkat bimbingan dan bantuan dari semua pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini dapat terselesaikan atas kerjasama dan dukungan yang baik dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak H. Achmad Badawi, S.Pd. MM selaku rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang
Bapak Shoiman Sholeh, S.Ag. M.Pd. selaku dekan Fakultas Agama Islam
Bapak Abdul Rohim, M.Pd selaku dosen pembimbing
Orang tua saya yang telah memberikan dukungan terhadap saya baik materil maupun spiritual
Teman-teman kelas A semester VII PGSD
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang saya buat ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna di masa yang akan datang.Tangerang, 19 Oktober 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang dihasilkan dari Islam.ajaran Islam merupakan ajaran yang bersumber dari Allah SWT. yang tertuang di dalam Al-Quran. Secara umum, hukum yang terkandung dalam Al-Quran berupa aturan dasar dan bersufat mujmal. Sumber tersebut dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah SAW. dalam kontek lokal dan waktu (temporal) melalui perkataan dan perbuatan kepada umatnya sebagai Nabi mereka. membumikan ajaran Al-Quran oleh Rasulullah SAW. dengan metode tersebut dinamakan sebagai Sunnah. Oleh sebab itu, Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. merupakan sumber syari’at bagi umat Islam.
Ketika Rasulullah SAW. hidup yaitu periode permulaan hukum Islam (13 SH. s/d 10 H.), para sahabat tidak kesulitan dalam memahami hukum Islam. Melalui beliau, mereka memahami hukum baik melalui perkataan, perbuatan maupun melalui pertimbangan Rasulullah SAW. tentang pemahaman mereka yang berbeda yang dinilai oleh Rasulullah SAW. sebagai sebuah kebenaran.
Sepeninggalan Rasulullah SAW., periode sahabat dan tabi’in (10 H. s/d 100 H./Abad I H.) kebutuhan untuk ber-istinbat (menggali) hukum semakin besar. Masa tersebut dalam sejarah fikih sebagai periode persiapan hukum Islam. Ketika itu, sahabat menggali hukum berdasarkan pertimbangan pemikiran yang sehat (ra’yu). Dengan ra’yu menetapkan hukum dinamika umat di masanya. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul dan belum sampai kajian mereka tentang metodologi semisal ushul fikih.
Keharusan mereka untuk ber-istinbat disebabkan oleh tiga hal yaitu : 1). Mayoritas umat Islam tidak bisa memahami materi hukum Al-Quran dan Hadis kecuali dengan bantuan orang lain; 2). Al-Quran belum tersebar kepada umat Islam secara luas karena masih tersimpan dirumah Rasulullah SAW. dan dibeberapa rumah sahabat; 3). Materi hukum yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah hanya berisi ketentuan peristiwa hukum yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. sedangkan dimasa sahabat kerap terjadi peristiwa hukum baru.
Pemikiran baru yang orisinil tidak berkembang lagi, yang terjadi hanyalah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Khusus dalam bidang fikih, para fuqaha cenderung taqlid kepada mazhab tertentu yang telah baku pada periode sebelum mereka. Pekerjaan fuqaha pada periode ini hanya memberikan alasan terhadap pendapat para imam dan dengan demikian hanya berkisar pada pendapat yang sudah ada dan tidak keluar daripadanya. Sikap demikian pada akhirnya membawa kepada kecenderungan membela mazhab, betapapun pemikiran yang ada di dalamnya lebih lemah dari pendapat lain.[9] Keadaan demikian yang dinamakan sebagai taqlid mazhab.
Dengan bertaqlid kepada mazhab yang ada, kreatifitas keilmuwan umat Islam saat itu mati sehingga mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual yang mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Fenomena demikian yang diterjemahkan sebagai “pintu ijtihad telah tertutup”. Jadi penutupan pintu ijtihad itu tidak pernah dinyatakan secara resmi, dan memang tidak ada suatu otoritas pun dalam Islam yang berhak menutup pintu ijtihad.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah yang berjudul “Periode Taqlid Dan Kemunduran Islam” penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
Sumber hukum umat Islam dalam periode taqlid?
Siapa saja yang menjadi pemikir hukum pada periode itu?
Siapa yang menegakkan hukum?
Bagaimana pendapat umat Islam tentang periode taqlid?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam mengkaji, mempelajari serta menyusun makalah ini, penulis memiliki tujuan sebagai berikut:
Untuk mengetahui sumber huku, Islam pada periode taqlid.
Untuk mengetahui siapa saja yang menjadi pemikir hukum pada periode itu.
Untuk mengetahui siapa yang menegakkan hukum.
Untuk mengetahui pendapat umat Islam tentang periode taqlid.
1.4 Sistematika Penulisan
Penulis menyusun makalah ini terdiri dari tiga BAB, yaitu :
BAB I Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Pembahasan yang meliputi: Sumber hukum umat Islam dalam periode taqlid, Siapa saja yang menjadi pemikir hukum pada periode itu, Siapa yang menegakkan hukum, dan Bagaimana pendapat umat Islam tentang periode taqlid.
BAB III Penutup yang meliputi: Kesimpulan dan Saran-saran.
Untuk melengkapi makalah ini penulis mencantumkan Daftar Isi di halaman depan dan Datar Pustaka di akhir halaman.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut pakar linguistik, taqlid asal kata dari al-qilaadah yang berarti kalung yang diikatkan seseorang kepada orang lain. Misalnya, orang yang bertaqlid hukum kepada seorang mujtahid. Sehingga ia seolah-olah menjadikan hukum yang diikuti seperti kalung yang ada dilehar mujtahid tersebut.
Secara etimologis, para pakar menerangkan tentang taqlid sebagai berikut:
1. As-Syaukani dalam kitabnya as-Sail al-Jarrar (I/6-7), taqlid adalah amalan dengan berdasarkan pendapat seseorang saja tanpa disertai landasan hukumnya.
2. al-Qaffal (w.365 H.) taqlid menurutnya yaitu menerima perkataan seseorang yang tidak engkau ketahui darimana sumber perkataan tersebut.
3. Syaikh Abu Hamid atau Isfirayini (w.406 H.) taqlid adalah menerima pendapat seseorang yang tidak bisa menjadi hujjah tanpa adanya dalil.
4. Ibnu al Hammam dalam kitabnya at-Tahrir (w. 861 H.) taqlid adalah, amalan dengan mengikuti perkataan seseorang yang tidak tergolong sebagai salah satu argumentasi hukum, tanpa dilandasi dalil yang menunjukkan eksistensi amalan tersebut di mata hukum.[11]
Berdasarkan pengertian taqlid di atas, amalan yang berpijak pada hadis Rasulullah SAW. dan ijmak sahabat tidak dikategorikan kepada taqlid.
Merujuk kepada pengertian taqlid, maka sumber hukum golongan muqallid adalah kaidah-kaidah dan fatwa-fatwa fuqaha mazhab yang diikuti. Mereka tidak berupaya melihat apakah kaidah ijtihad tersebut sudah benar atau tidak ataupun masih relavan atau tidak dengan masa mereka. Namun mereka mengamalkan sebagaimana adanya dan tidak berupaya mencurahkan pikiran mereka untuk menciptakan teori baru dalam berijtihad sebagaimana yang dilakukan oleh fuqaha terdahulu.
Pada periode ini mayoritas umat Islam bertaqlid kepada mazhab Hanafiy, Maliki, Syafi’y dan Hanbali. Untuk mendalami mazhab masing – masing, umat Islam mensyarah kembali mazhab mereka dan pensyarah tersebut tampil kedepan dan menjadi ulama bagi umat Islam dimasanya.
Tentang perilaku taqlid, Imam Hasan al-Banna menggunakan ungkapannya dengan ittibaa’ bukan taqlid. Ungkapan al-Banna tersebut menjadi penengah terhadap dua kutub yang berbeda dalam menilai taqlid. Kutub pertama menyatakan, taqlid terhadap mazhab adalah wajib yaitu Syaikh ash-Shawi al-Maliki dan kawan-kawan. Sedangkan kutub yang kedua menyatakan haram, salah satu pelopornya adalah As-Syaukani.
2.2 Pemikir Hukum Pada Periode Taqlid
Walaupun sebetulnya banyak faktor yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari sumber-sumber yang pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga berhenti dalam upaya pembentukan hukum dilingkungan daerah masing-masing.
Dalam upaya tersebut, ulama pada tiap-tiap mazhab melakukan kajian tentang mazhab mereka berdasarkan kapasitasnya sebagai Mujtahid muntasib, Mujtahid fatwa, Ahli Takhrij, Ahli Tarjih dan Ahli Taqlid semata-mata.
Untuk kepentingan kajian ini, mari kita lihat penjelasan tentang kapasitas ulama tersebut sebagai berikut:
2.2.1 Mujtahid muntasib adalah ulama pengikut mujtahid muthlaq mustaqil (mandiri), ia mampu melakukan istinbat hukum dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh mujtahid muthlaq mustaqil. Dalam mazhab Syafi’i mujtahid muntasib antara lain Muzani, Buwaithi dan Abu Tsaur. Dalam mazhab Maliki di antaranya adalah Asyhab dan Ibn Al-Qasim. Mazhab Hanbali misalnya Atsram. Sedangkan pengikut Hanafiy yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan.
Khusus yang terakhir yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan dalam sebagian riwayat dilaporkan, mereka tidak masuk dalam kategori mujtahid muntasib. Mereka termasuk mujtahid muthlaq mustaqil yang memiliki pendapat sendiri dimana kedudukan mereka terhadap Abu Hanifah adalah sama kedudukan Syafi’i terhadap Malik dan sama dengan kedudukan Ahmad terhadap Syafi’i. Ketidakpopuleran mereka sebagai mujtahid mustaqil (mandiri) karena meleburkan diri dan memutlakkan secara keseluruhan kepada mazhab Hanafiy. Jika seandainya ada di antara mereka tidak bersikap demikian, tentu akan berdiri mazhab tersendiri.
2.2.2 Mujtahid fatwa adalah ulama yang mampu untuk mentarjih dan meneliti pendapat para mujtahid muntasib dan mampu menetapkan hukum untuk masalah baru yang hukumnya belum ditetapkan oleh mujtahid muthlaq mustaqil dan mujtahid muntasib. Dalam mazhab Syafi’i ulama ini adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Imam Al-Ghazaly. Mazhab Hanafiy seumpama Khashaf, Thahawi dan Al-Karkhi. Sedangkan dari Malikiyah yaitu Lakhmi, Ibnul Arabi dan Ibnu Rasyid. Mereka juga menyambung kajian tentang ushul fiqih mazhab imam mereka dengan cara menyempurnakan dan sebagian lain hanya memberi komentar secara lebih luas dan ada juga yang mengumpulkan beberapa kitab Ushul Fiqih dalam suatu kitab dan ada pula yang meringkasnya. Kajian tentang ushul fiqih mazhab Syafi’i seperti al-Mustashfa (al-Ghazaly) dan usaha Imam Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (w.694 H) mengumpulkan kedua kitab Ushul karya Al-Bazdawi Al-Hanafi dengan karya al-Amidi al-Syafi’i yakni kitab Al-Ihkam.
2.2.3 Ahli Takhrij, mereka tidak berijtihad dalam meng-istinbat-kan hukum berbagai masalah namun mereka membatasi ijtihadnya dalam menafsiri ucapan imam mereka yang mujmal, atau menyatakan arah tertentu bagi hukum yang mengandung kemungkinan (muhtamil) dua arah. Maka mereka berusaha menghilangkan kesamaran dan kegelapan yang terdapat pada ucapan dan hukum-hukum imam mereka. Ulama ini dalam Hanafiyah seperti Jashshash.
2.2.4 Ahlu tarjih yaitu ulama yang mampu membandingkan dan mentarjih pendapat imam mereka dengan riwayat yang lain, atau ditinjau dari segi dirayahnya, setelah itu dinyatakan : “ini yang lebih sah riwayatnya, atau ini yang lebih utama penukilannya untuk diterima, atau ini yang lebih sesuai bagi qiyas, atau ini yang lebih sesuai bagi manusia”. Pengikut mazhab Syafi’i yang termasuk dalam kategori tersebut ialah Syaikh Ibn Hajar dan Syaikh Ramli. Sedangkan dari Hanafiyah seperti Al Qaduri, dan pengarang kitab Al-Hidayah.
2.2.5 Ahli taqlid semata-mata yaitu mereka hanya membeda-bedakan antara riwayat yang nadir dengan dhahirnya riwayat, dan antara dalil yang kuat dengan yang lemah. Salah satu diantaranya adalah pengarang matan yang mashur yang muktabar dikalangan mazhab Abu Hanifah seperti pengarang “Al-Kanzu” dan “Wiqayah”.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kesungguhan para ulama dalam hal pembentukan hukum hanya sebatas mencurahkan perhatian mereka kepada cara ber-istinbat dan pada hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka dan tidak merujuk lagi kepada nash syari’at.
Keadaan demikian yang digambarkan oleh pemerhati hukum Islam sebagai pintu ijtihad telah tertutup dibandingkan dengan periode sebelumnya. Jika periode sebelumnya umat Islam yang bertaklid hanya dari kalangan awam, namun dalam periode ini ulama juga termasuk dalam golongan muqallid.
Fenomena tersebut dapat penulis katakan sebagaimana yang diungkapkan juga dalam beberapa laporan pemerhati hukum Islam bahwa, mereka telah melupakan ucapan Imam Abu Hanifah yaitu “Kalau ucapanku menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tinggalkanlah ucapanku”. Juga melupakan apa yang pernah diucapkan Imam Malik bin Anas “ Kita semua menolak dan ditolak, melainkan yang mempunyai kuburan ini (Nabi Muhammad SAW.)”. Demikian juga mereka lupa apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i “Bilamana telah sah sesuatu khabar (walaupun) menyalahi mazhabku, maka ikutlah khabar itu, dan ketahuilah itulah yang sebenarnya mazhabku”. Hal senada juga dikatakan oleh Ahmad Ibn Hanbal, “ Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan janganlah taqlid kepada imam Malik, dan janganlah taqlid pula kepada imam Tsauri dan jangan kepada imam auza’i, dan ambillah darimana mereka ambil”.
2.3 Penegak Hukum Pada Periode Taqlid
Meskipun pada periode taqlid dinyatakan sebagai fase kemunduran hukum Islam, namun kreatifitas umat Islam dalam menegakkan hukum tidak bisa dikatakan sudah berkurang dibanding ulama pendahulu mereka. Beragam persoalan baru muncul dalam kehidupan, dan persoalan tersebut harus dikuasai dan dihadapi dengan piranti tradisional yang diberikan oleh ilmu hukum. Aktivitas ini dilakukan oleh para mufti. Mereka merupakan pakar hukum yang dapat memberikan pendapat yang otoritatif tentang dokrin, dan pendapat hukum yang mereka keluarkan disebut sebagai “fatwa”. Ini merupakan pemahan penulis dari laporan Joseph Schacht dalam bukunya Pengantar Hukum Islam.
Keadaan tersebut tidak berbeda dimasa tabi’in sebelum munculnya tokoh mazhab sebagai kelompok profesional semisal As-Syafi’i yang telah diposisikan sebagai pakar yurisprudensi hukum Islam dimana implikasi dari karya besar As-Syafi’i tersebut telah merusak pemikiran umat Islam bahwa, hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memahami hukum Islam secara detail kendatipun As-Syafi’i tidak mendokrin seperti itu.
Para mufti dimasa tabi’in berperan sebagai pembimbing dan pemberi nasehat kepada masyarakat tentang cara berbuat benar berdasarkan hukum Islam. Otoritas mufti bersifat pribadi karena didasarkan pada reputasi keulamaan. Pendapat seorang mufti tidak memiliki sanksi resmi, dan seseorang dapat saja meminta bantuan ulama manapun yang dikenal dan dipercayainya. Elemen cautelary dan advisory mufti jelas terlihat dalam karya Malik, khusus diskripsi tentang Ibrahim an-Nakha’i salah satu mufti dimasa tabi’in.
Pada periode taqlid, ketika mazhab sudah dianggap mapan, pemerintah Islam mengangkat para ulama yang diakui keahlian mereka sebagai mufti resmi dan kepala mufti digelari sebagai “Syaikh Al-Islam”. Kendatipun demikian, kehadiran mufti resmi sebagai stacholder pemerintah tidak menambah instrinsik dari pendapat mereka. Mereka tidak memiliki hak monopoli dalam pemberian fatwa, dan tradisi berkonsultasi kepada para ulama yang bereputasi tinggi tetap tidak berhenti. Qadhi juga dapat berkonsultasi kepada seorang ulama bila ia merasa ragu-ragu dan para mufti resmi sering dikaitkan dengan pengadilan qadhi. Sebelum qadhi memutuskan perkara, mereka akan melengkapi diri dengan fatwa-fatwa yang seotoritatif mungkin meskipun mereka tidak terikat untuk menerima fatwa manapun.
Setiap keputusan yang dicapai oleh seorang mufti resmi tentang perbuatan hukum baru yang dianggap benar oleh para ulama, maka keputusan itu dimasukkan dalam buku pegangan mereka. Oleh sebab itu, kontribusi mufti resmi tersebut dalam perkembangan hukum Islam sangat besar pada periode taqlid. Fatwa mereka sering dikumpulkan dalam karya terpisah yang berbicara tentang kepentingan historis yang sangat besar. Mereka menunjukkan problem-problem penting yang muncul dan praktik pada ruang dan waktu.
Demikianlah kreatifitas mufti resmi dalam meletakkan dasar hukum Islam meskipun keputusan mereka tidak mempengaruhi terhadap perkembangan hukum Islam setelah akhir periode formatifnya diawal pemerintahan Abbasiyah.
Untuk lebih jelas tentang fenomena tersebut, berdasarkan laporan Joseph Schacht bahwa, hukum Islam sampai pada permulaan Abbasiyah telah bersifat adaptif dan mengikuti perkembangan. Dan sejak itu terus bertambah semakin kaku dan memperoleh bentuknya yang bersifat final. Kekakuan ini telah mampu membantu memelihara stabilitas hukum selama berabad-abad lamanya yang memperlihatkan melemahnya lembaga-lembaga politik Islam. Memang tidak seluruhnya bersifat tetap, tetapi perubahan yang benar-benar terjadi itu lebih banyak berkaitan dengan teori hukum dan superstruktur yang sistematis dan bukan pada hukum positif. Secara keseluruhan, hukum Islam merefleksikan dan sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi pada periode awal Abbasiyyah. Akan tetapi hukum Islam pada akhirnya berkembang semakin jauh dari sentuhan perkembangan negara dan masyarakat kemudian.
2.4 Perbedaan Pendapat Tentang Taqlid
Dalam periode taqlid, ulama dimasa tersebut berbeda pendapat tentang taqlid mazhab. Perbedaan mereka dapat penulis bagikan kepada tiga yaitu: 1). Pendukung taqlid; 2). Penolak taqlid; 3). Dan penengah taqlid (netral).
4.1 Pendukung Taqlid
Mereka merupakan orang-orang yang mewajibkan taqlid kepada setiap orang, baik awam maupun ulama. Mereka juga mengharamkan ijtihad ulama kontemporer, baik ijtihad menyeluruh ataupun sebagian saja. Untuk memperkuat upaya tersebut, golongan ini mengatakan bahwa, konsep ijtihad sejak beberapa abad silam telah dilarang dan telah berhenti secara realitas, serta pintu ijtihad telah tertutup semenjak abad ke 4, atau ke 3 atau bahkan sebelumnya.
Mereka berkeyakinan bahwa, bertaqlid kepada salah satu mazhab hukumnya waajib diyaani (wajib dalam aspek ketaatan beragama). Setiap muslim harus merealisasikan kewajiban ini, baik orang awam ataupun ulama. Oleh sebab itu, keluar dari mazhab empat yang mashur adalah sangat dilarang meskipun keluar dari mazhab tersebut untuk berpegang kepada perkataan sahabat dan tabi’in.
Hal demikian sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh ash-Shawi al-Maliki penulis buku yang terkenal al-Haasyiyah “komentar” terhadap kitab asy-syarah ash-shaghir karya Syaik Dardir dalam bidang fikih dan al-Haasyiyah terhadap kitab Tafsir al-Jalaalain (w.1241 H.), “Tidak diperkenalkan taqlid kepada selain empat mazhab walaupun sesuai dengan perkataan sahabat, tabi’in, hadis sahih maupun ayat Al-Quran. Keluar dari mazhab adalah sesat dan menyesatkan, yang mungkin bisa mengantarkan kepada kekafiran. Karena mengambil zahir ayat Al-Quran dan as-Sunnah termasuk unsur-unsur kekafiran”.
Dalam kitab Nizham al-Jauhar karya al-Qani Malikiyah yang dijelaskan dalam al-Bajuri juga kita dapati seruan untuk bertaqlid. Dalam buku itu, al-Qani menyatakan sebagai ketetapan yang wajib diyakini oleh generasi Islam. Seruan tersebut sebagai berikut :
‘Malik dan seluruh Imam, Juga Abu Qasim sebagai penunjuk umat ini, Maka wajib bagimu bertaqlid kepada yang ahli di antara mereka, Sebagaimana dikatakan kaum dengan kata yang mudah dipahami”
Syair tersebut menyampaikan kepada pembaca bahwa, Abu Qasim adalah pembimbing besar sufi al-Junaid bin Muhammad (w.297 H.) dan diharuskan kepada setiap muslim untuk mengamali kebenaran tariqatnya karena kelurusan arahnya dan jauh dari pendistorsian dan bid’ah. Sedangkan mazhab yang harus ditaqlidi adalah Maliki karena penyair merupakan Malikiyah. Dalam aspek akidah, mereka mengharuskan mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w.334 H) atau Abu Manshur al-Maturidi.
Mengenai taqlid, Ibn ‘Asyir menyatakan dalam bait-bait sya’irnya yang dihafal oleh pelajar di negara-negara Arab bagian Barat, “ Akidah al-Asy’ari, fikih Maliki, Juga tarikat al-Junaid untuk akhlak”.
4.2 Penolak Taqlid
Golongan ini merupakan penentang terhadap sikap taqlid. Ulama yang mashur dari golongan tersebut yaitu Ibnu Abdul Barr, Ibn Hazm, Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, ash-Shan’ani, as-Syaukani, ad-Dahlawi dan beberapa yang lain. Mereka mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad pada setiap orang, bahkan sampai kepada kalangan awam sekalipun.
Yusuf Qardhawi melaporkan, yang paling keras dalam menentang taqlid adalah fukaha Zhahiriyah (aliran tekstual) yang terkenal dengan Abu Muhammad bin Hazm penulis buku ushul fikih al-Ihkaam fii Ushuul al-Ahkaam, al-Muhalla dalam bidang fikih, fiqih muqarran, dan buku al-Fashlu fii al-Milal wa an-Nihal tentang sejarah dan perbandingan agama.
Pandangan tersebut didukung oleh ulama masa sekarang seumpama Syaikh asy-Syaukani dalam sebagian besar kitabnya yang bisa dilihat dalam kitab Irsyad al-fuhuul, as-Sail al-Jarar dan dalam risalah al-Qaul al-Mufiid fii Adillah al-Ijtihad wa at-Taqlid. Dalam buku – buku tersebut, Syaukani menolak taqlid dan menghujat pelakunya dengan keras, namun tidak sevokal Ibn Hazm. [30] Kitab Nail al-Authar juga salah satu karya Syaukani.
Pada zaman sekarang, mereka yang memegang pendapat tersebut adalah golongan ahli hadis dengan tokohnya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Bagi yang mendukung taqlid, mereka mengatakan kepada golongan al-Bani sebagai kaum yang tidak bermazhab.
4.3 Penengah Taqlid (netral)
Kelompok yang ketiga ini merupakan penengah dari kedua pendapat di atas. mereka tidak mewajibkan taqlid secara mutlak sebagaimana pendapat pertama dan tidak mengharamkan secara mutlak seperti pendapat kedua. Mereka membolehkan taqlid kepada orang-orang tertentu dan mengharamkan kepada orang tertentu juga.
Pandangan semacam ini dipegang oleh Imam Hasan al-Banna sebagaimana ungkapannya, “Bagi setiap muslim yang belum mampu menganalisa dalil-dalil hukum syari’at Islam, hendaknya mengikuti (ittiba’) salah seorang imam dari imam-imam kaum muslimin. Alangkah baiknya ia berusaha mengetahui dalil-dalilnya sesuai kadar kemampuannya, menerima setiap petunjuk yang disertai dalil-dalil jika menurutnya yang memberi petunjuk itu benar-benar dipercaya dan mumpuni untuk itu. Jika ia termasuk orang yang berilmu, hendaknya memenuhi kekurangannya dalam hal ilmu agama. Sehingga, ia bisa sampai pada tingkatan kelayakan untuk manganalisa suatu hukum.”
Ungkapan yang indah dari al-Banna adalah tidak mengungkapkan dengan kata taqlid, tapi dengan kata ittiba’. Kata ittiba’ sebagaimana dalam Al-Quran merupakan kata tentang hal yang terpuji dalam perkara yang disyari’atkan. Sebagaiman firman Allah SWT, yang artinya : “Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Maryam : 43).
Ayat ini menunjukkan bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu, agar mengikuti orang yang berilmu berkaitan tentang apa yang tidak diketahui.
BAB III
PENUTUP
Taqlid asal kata dari al-qilaadah yang berarti kalung yang diikatkan seseorang kepada orang lain. Ibnu al Hammam dalam kitabnya at-Tahrir (w. 861 H.) taqlid adalah, beramal dengan perkataan seseorang yang tidak diketahui dasar hukum. Sedangkan amalan yang diketahui dasar hukum semisal Hadis dan ijmak, amalan tersebut tidak dikategorikan sebagai taqlid. Merujuk kepada pengertian taqlid, maka sumber hukum golongan muqallid adalah kaidah-kaidah dan fatwa - fatwa fuqaha mazhab yang diikuti. Mazhab - mazhab yang diikuti seperti mazhab Hanafiy, Maliki, Syafi’y dan Hanbali.
Dengan bertaqlid kepada mazhab yang ada, kreatifitas keilmuwan umat Islam saat itu mati sehingga mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual yang mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Fenomena demikian yang diterjemahkan sebagai “pintu ijtihad telah tertutup”.
Periode taqlid terjadi pada pertengahan abad ke – 4 H. sampai akhir abad ke – 13 H. Sedangkan pemikir hukum dalam periode tersebut dikatagorikan kepada 5 tingkatan yaitu : 1). Mujtahid muntasib, mereka yang mampu melakukan istinbat hukum berdasarkan kaidah yang dirumuskan oleh mujtahid muthlaq mustaqil. Dalam mazhab Syafi’i yaitu Muzani dkk., Malikiyah yaitu Ibn Al-Qasim, Hanbaliyah seperti Atsram dan pengikut Hanafiy adalah Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan namun sebagian pendapat melaporkan bahwa, Yusuf dan Muhammad masuk dalam kategori mujathid muthlaq mustaqil.; 2). Mujtahid fatwa, mentarjih dan meneliti pendapat mujtahid muntasib dan mampu menetapkan hukum untuk masalah baru. Mazhab Syafi’i adalah Imam Nawawi dkk., Hanafiy seumpama Khashaf dkk., dan Malikiyah seumpama Lakhmi dkk.; 3). Ahli takhrij, mereka menafsirkan ucapan imam yang mujmal, atau menyatakan arah tertentu bagi hukum yang mengandung kemungkinan (muhtamil) dua arah. Mereka berusaha menghilangkan kesamaran yang terdapat pada ucapan dan hukum-hukum imam mereka. Ulama ini dalam Hanafiyah seperti Jashshash.
Sedangkan yang ke-4 yaitu Ahlu tarjih, ulama yang mampu membandingkan dan mentarjih pendapat imam mereka dengan riwayat yang lain. ulama Syafi’iyah seperti Ibn Hajar dan Syaikh Ramli. Hanafiyah seperti Al Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah; 5). Ahli taqlid semata-mata, mereka hanya membedakan antara riwayat yang nadir dengan dhahirnya riwayat, dan antara dalil-dalil yang kuat dengan yang lemah. Salah satu diantaranya adalah pengarang matan yang mashur yang muktabar dikalangan mazhab Abu Hanifah seperti pengarang “Al-Kanzu” dan “Wiqayah”.
Penegak hukum dalam periode taqlid adalah pemerintah melalui mufti resmi dan kepalanya digelari sebagai “Syaikh Al-Islam”, dan mereka dikaitkan dengan pengadilan qadhi. Kehadiran mufti resmi tersebut tidak berdampak terhadap pengembangan hukum karena tidak berwenang untuk berfatwa, dan tradisi berkonsultasi kepada para ulama yang bereputasi tinggi tetap tidak berhenti. Setiap keputusan yang dicapai oleh seorang mufti resmi dan benar di mata ulama, keputusan itu dimasukkan dalam buku pegangan. Inilah bentuk kontribusi mufti resmi dalam perkembangan hukum Islam pada periode taqlid.
Tentang perilaku taqlid, ulama berbeda pendapat, ada yang mendukung seperti Syaikh ash-Shawi al-Maliki, menolak taqlid seperti As-Syaukani dan bersikap netral tentang taqlid, pelopornya adalah Hasan Al-Banna. Bagi yang menerima taqlid melaporkan bahwa, bertaqlid kepada salah satu mazhab hukumnya waajib diyaani karena konsep ijtihad sejak abad ke 4, atau ke 3 atau bahkan sebelumnya telah dilarang dan telah berhenti secara realitas, serta pintu ijtihad telah tertutup. Adapun yang menolak taqlid beragumen, ijtihad diwajibkan pada setiap orang secara mutlak. Sedangkan yang bersikap netral tentang taqlid menyatakan bahwa, muslim yang belum mampu menganalisa dalil-dalil hukum syari’at Islam, hendaknya mengikuti (ittiba’) salah seorang imam dan alangkah baiknya ia berusaha mengetahui dalil-dalilnya sesuai kadar kemampuan. Sedangkan orang yang berilmu, hendaknya memenuhi kekurangannya dalam hal ilmu agama. Sehingga, ia bisa sampai pada tingkatan kelayakan untuk manganalisa suatu hukum.
Implikasi taqlid terhadap masyarakat Islam adalah ta’asub kepada mazhab yang berlebihan. Bentrok fisik kerap terjadi karena saling menyalahkan dan membenarkan mazhabnya. Terkadang mereka juga memperkuat tokoh mereka dengan menyatakan kelebihan dan keajaiban-keajaiban yang dimiliki dan lain-lain. Konsentrasi untuk memperbanyak pengikut terhadap mazhab yang dianut juga
Perilaku-perilaku umat Islam sebagaimana di atas telah memalingkan mereka dari asas pembentukan hukum pertama yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ketika masyarakat Islam larut dalam polemik, intelektual mereka kian melemah. Sehingga kualitas seorang fuqaha yang dianggap oleh umat Islam pada periode taqlid tidak sebanding dengan kualitas fuqaha yang hidup pada periode sebelum mereka. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’arif, Syafi’i. 1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: TP.
Maghfur, Muhammad. 2002. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah.
Rabu, 05 Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)